
Maret, 10 tahun yang lalu
Sakit . . .
Itulah yang bisa terlihat dari ekspresi remaja-remaja ini saat di bawa ke rumah sakit terdekat. Beberapa dengan luka bakar yang cukup parah, kening berdarah, gigi copot dan tulang retak. Rasanya seperti mimpi buruk, melihat anak-anak yang awalnya begitu semangat bertanding, kini merintih kesakitan di ruang UGD. Ingin rasanya ia saja yang di posisi mereka, ini salahnya karena terlalu menganggap sepele urusan transportasi. Seharusnya ia menyiapkan segalanya, memeriksa tiap detail, memastikan semua baik-baik saja. Tapi ia malah melewatkan hal vital itu hanya demi perempuan yang telah membuatnya malu.
“Pak Timo,” kata suara lembut perempuan tua di sampingnya.
“Sudahlah pak, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri,” lanjutnya.
“Tapi ini salah saya, seharusnya saya tidak langsung ke Bandung sebelum memastikan semuanya, semua gara-gara supir busuk itu. Udah tau jalannya curam, bisa-bisanya ngantuk,” kata pria itu marah
“Dari sana ke Bandung kan cukup jauh pak, wajar kalau ia kelelahan,” kata wanita itu lagi
“Anda memang terlalu baik, bu kepala sekolah, tapi lihat anak-anak sekarang. Terluka, berdarah-darah, mereka perwakilan kabupaten , Bu An. Tapi sekarang? …”
Pak Timo tampaknya tak bisa berkata-kata lagi, wajahnya yang biasa tersenyum kini kian terpuruk dalam penyesalan. Dia menghela nafas.
“Saya yang melatih mereka, dari nol. Sakit sekali melihat mereka seperti sekarang, mau mati saja rasanya,” kata pak TImo putus asa
“Astagfirullah, Pak. Istigfar, ini musibah yang tidak bisa kita perkirakan sebelumnya. Siapa saja bisa mengalaminya. Jangan bapak berfikiran sempit begitu,” kata Bu An geleng-geleng.
“Saya tahu, bu. Tapi bayangkan wajah mereka. Mereka sudah berlatih dan menyiapkan segalanya selama berminggu-minggu. Entah bagaimana rasanya jika mereka mengetahui kalau mereka diganti…”
“Di ganti?” kata suara laki-laki serak
Pak Timo dan Bu Kepala Sekolah sontak kaget. Ternyata seoarang remaja laki-laki kurus yang berkata.
“Apa maksud bapak diganti?” katanya keras sampai orang-orang di sekeliling UGD tertarik melihat.
“Akbar? Kamu ngapain di luar, cepat masuk!” kata Pak Timo
“Saya gak mau masuk sebelum bapak ngejelasin semuanya, apa maksudnya diganti? Yang menang di kejuaran kabupaten itu kami, Pak!,” teriak Akbar marah
Dengan kepala yang masih diperban, Akbar memelototi pelatih dan kepala sekolahnya.
“Saya tahu, tapi dengar dulu nak, masalahnya ga sesederhana itu,” kata kepala sekolah memulai.
“Dengan kondisi kalian yang sekarang, kalian tidak mungkin ikut perlombaan. Tadi pagi, ibu dapat telepon dari pemda, dan pihak yang bersangkutan menginginkan …..urm… adanya perubahan dari segi pesertanya,” lanjut ibu kepala sekolah tampak memilih-milih kata.
“Apa SMA Pelita, SMA itu?” kata Akbar keras lagi. Wajahnya diliputi shock , amarah dan kecewa. Perjuangannya dan teman-temanya selama ini harus sia-sia. Padahal mereka sudah begitu dekat dengan tunamen yang mereka impikan.
“Gak mungkin,” kata suara lain, kali ini suara perempuan, suaranya pelan sampai hampir seperti bisikan.
“Yang menang kan kami pak waktu di kabupaten, mereka cuma runner up!” katanya emosi.
Tampaknya teriakan Akbar barusan juga telah menarik perhatian anggota lain. Pintu UGD sudah terbuka lebar, anak-anak mulai menjejalkan diri keluar pintu UGD dengan perlahan.
“Ya ampun, Retno. Kenapa kamu ikutan keluar. Kalian lagi kenapa ke luar juga?,” kata Pak Timo tak habis fikir. Anak-anak didikannya ini memang “terlalu” korsa untuk ukuran anak SMA.
“Retno bener . Apa Ibu sama Bapak masih ragu sama kami. Apa ibu gak liat kalau kami udah latihan keras selama ini,” kata anak laki-laki lain di belakang Akbar. Semua temannya menyahut setuju, sehingga ruang UGD saat itu tampak seperti dikerumuni demonstran.
“Ibu udah jelasin sama Akbar, kalian tidakk dalam kondisi yang cukup fit untuk jadi partisipan. Tapi bagaimanapun Pemda harus mengirimkan perwakilannya ke turnamen itu,” kata Bu An menjelaskan.
“Oh, jadi Pemda sialan itu ngebuang kami yang udah ngeharumin namanya, terus make SMA runner up konyol itu,” kata Akbar lagi.
“Bagaimanapun Pemda kabupaten kita tetap bertanggung jawab pada pihak panitia. Mereka gak mungkin tidak mengirimkan perwakilan mereka, tolong mengerti lah, masih ada kesempatan lagi” kata Pak Timo
“Bukannya bapak sendiri yang bilang, kalau kita harus mencari kesempatan bukan mengunggunya. Kami masih mampu ikut andil, Pak. Jangan sepele kan kami, bahkan meskipun kami terbaring sekarat di tempat tidur reyot rumah sakit ini, kami akan tetap menuju lapangan,” kata Akbar kukuh
“Kami gak rela, Pak. Meski kami harus jalan kaki sampai ke lapangan itu, kami pasti tetap bisa tampil besok,” kata Retno sambil menangis.
“Astagfiullah, kalian ini. Bapak mengkhawatirkan kalian. Kenapa kalian ga bisa ngerti. Sudah, bapak gak mau dengar protes kalian lagi sekarang semuanya masuk ke UGD, kalau engga bapak bersumpah ga akan mengizinkan kalian mengikuti lomba apapun, faham!!” kali ini Pak Timo benar-benar marah.
“bapak gak berhak ngelakuin itu!!!”
“Gak berhak !? Liat saja bapak bisa melakukan apapun hanya agar kalian patuh, sekarang MASUK!!!”
Anak-anak tak ada lagi yang melawan. Akbar, Retno da teman-temannya masuk kembali ke UGD.
Gara-gara keributan tadi, suasana begitu tegang. Dokter dan suster pun tak ada yang berani bergerak. Setelah anak-anak kembali ke tempat yang disediakan, dokter dan suster itu mulai kembali memeriksa dan melakukan perawatan.
“Akbar, gimana nih?,” bisik Retno sambil terisak
“Kita gak akan mundur,” kata Akbar yakin. “Siapin barang-barang, obat dan juga makanan. Aku punya rencana,” kata Akbar
Akbar melihat ke teman-teman di sekelilingnya. Mereka sudah terbiasa berkomunikasi dengan tatapan dan bisikan, sehingga tidak sulit baginya untuk menyampaikan niatnya. Semua temannya, meski sekilas supaya tidak ketahuan, mengagguk setuju ke arahnya.
“Begitu dokter sama suster konyol ini pergi, kita mulai,” katanya pelan
Akbar tahu, dan teman-temannya pun sama, masih ada kesempatan. Mereka tak kan mundur setelah begitu dekat . Meskipun harus melawan pak Timo, pelatih yang diam-diam dikaguminya, Ibu kepala sekolah, Pemerintah Daerah bahkan Pemerintah Provinsi, ia dan teman-temannya tak kan menyerah untuk mendapat piala cemerlang itu. Impian dan cita-cita pasukannya.
“Kita pasti bisa,” katanya daam hati sambil menggenggam erat tangan Retno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar